Fundasionalis vs Empiris dalam Filsafat Ilmu

Jurnal Kesehatan AdeHeryana Vol.1 No.8 2021

Sampai sekarang selalu muncul perdebatan dalam memandang ilmu pengetahuan. Kemarin saat menguji sidang skripsi mahasiswa, terjadi perdebatan antara penguji satu dengan penguji lain. Penguji satu bersikukuh bahwa skripsi tersebut tidak layak lulus karena tidak mengikuti kaidah ilmu yang formal. Sementara penguji yang lain menganggap skripsi ini layak lulus karena secara empiris kondisinya sesuai dengan lapangan. Mengapa sampai saat ini perdebatan antara fundamental dengan empiris masih terjadi?

Penulis membaca buku berjudul Philosophy of Science: A Unified Approach yang ditulis oleh Gerhard Schurz, seorang guru besar filsafat kebangsaan Austria. Pada buku ini Schurz menjelaskan pengertian dan kelompok/aliran yang ada dalam filsagat ilmu.

Menurut Schurz (2014), istilah yang sering dipakai untuk menjelaskan filsafat ilmu antara lain theory of science atau wissenschaftstheorie (bahasa Jerman). Seperti halnya disiplin ilmu lain, Filsafat Ilmu memiliki tujuan yang akan dicapai. Disiplin ilmu ini berupaya menginvestigasi bagaimana sebuah ilmu pengetahuan “bekerja” berdasarkan tujuan dan metode, pencapaian, serta keterbatasan yang dimilikinya.

Filsafat Ilmu terbagi menjadi dua jenis yaitu a) filsafat cabang ilmu (philosophies of particular sciences); dan b) filsafat ilmu secara umum (general philoshopy of sciences). Filsafat cabang ilmu secara khusus mempelajari cabang khusus ilmu pengetahuan seperti filsafat fisika, biologi, psikologi, ilmu sosial atau humanity. Sementara filsafat ilmu (umum) berupaya mencari komponen-komponen ilmu pengetahuan.

Apa yang akan dijawab dalam cabang filsafat ilmu? Schurz menyatakan setidaknya ada enam pertanyaan yang akan dijawab: (1) Bagaimanakah “bahasa” dalam ilmu pengetahuan disusun?; (2) Apakah aturan yang dipakai untuk menjelaskan dan memberikan sanggahan dalam ilmu pengetahuan?; (3) Apakah perbedaan observasi dan data antar ilmu pengetahuan? (4) Apakah hokum yang mendasar ilmu pengetahuan, dan terdiri dari teori apa saja?; (5) Bagaimana pengujian hipotesis dan teorinya? Kapan uji hipotesis tersebut ditolak? Apakah kriteria yang dipakai untuk kelanjutan ilmu pengetahuan?; dan (6) Apakah pencapaian yang dihasilkan melalui penjelasan ilmiah, dan apakah penyebabnya?.

Bagaimanakah pemanfaatan Filsafat Ilmu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut? Pada dasarnya terdapat dua jenis aplikasi Filsafat Ilmu yaitu aplikasi internal dan aplikasi eksternal (Schurz, 2014).

  1. Aplikasi internal atau di dalam ilmu pengetahuan itu sendiri, meliputi: 1) penyediaan pondasi dasar ilmu pengetahuan yang membantu peneliti untuk menentukan pertanyaan penelitian baik yang sifatnya baru atau kontroversial; 2) menentukan lintas disiplin keilmuan; dan 3) menghasilkan kemampuan berargumentasi dalam melakukan telaah kritis.   
  2. Aplikasi eksternal atau di luar ilmu pengetahuan, antara lain: mengatasi masalah pengkotak-kotakan atau demarkasi ilmu pengetahuan di masyarakat, menghindari penyalahgunaan ilmu pengetahuan secara politik dan komersial.

Filsafat Ilmu secara formal pertama kali dicetuskan pada abad 20, namun sebenarnya sudah ada sejak ilmu pengetahuan berkembang. Pada artikel ini akan diurutkan secara kronologis berdasarkan pemikiran-pemikiran yang dihasilkan tokoh-tokoh filsafat.

  1. Pemikiran filsafat pertama kali disampaukan oleh “kelompok fundasionalis” yang menyatakan “pada dasarnya pengetahuan hanya mungkin terjadi jika berdiri di atas dasar-dasar prinsip kepastian dan kebutuhan. Prinsip ini muncul melalui pemikiran intuisi rasional, bukan melalui pengalaman-pengalaman yang sifatnya tidak pasti”. Tokoh yang pertama kali mencetuskan pemikiran ini adalah Aristotles (384-322 SM), yang menyebut pemikiran ini dengan induksi intusi.  Kelompok fundasionalis kemudian berkembang menjadi kelompok “rasionalis” yang dimotori oleh tokoh-tokoh seperti Rene Descartes (1596-1650), Gottfried W. Leibniz (1646-1716), dan Immanuel Kant (1724-1804). Menurut kelompok rasionalis, sesuatu hal memiliki kebenaran jika memiliki unsur-unsur empirik. Pemikiran ini ternyata tidak dapat dipertahankan bersamaan dengan munculnya ilmu pengetahuan modern.
  2. Pemikiran kelompok fundasionalis lama-lama digantikan oleh kelompok metodologi empirik atau disebut “kelompok empirik” pada akhir abad pertengahan oleh tokoh-tokoh seperti Roger Bacon (1214-1292), dan William von Ockham (1295-1349). Pada masa itu dikenal prinsip Ockham yang menyatakan “ketika seorang peneliti/ilmuwan membatalkan seluruh asumsi-asumsi teoritis, maka ia tidak perlu menjelaskan hal-hal yang nampak”. Pada awal abad modern, pemikiran kelompok empirik semakin diakui dalam dunia filsafat bersamaan dengan lahirnya metode ilmiah di periode tersebut, oleh tokoh-tokoh seperti Francis Bacon (1561-1626), John Locke (1632-1704), David Hume (1711-1776) dan John Stuart Mill (1806-1873). Menurut kelompok empirik, sesuatu dikatakan benar jika didasarkan pada pemikiran logis dan konseptual. Namun demikian, pada akhirnya pemikiran kelompok fundamentalis juga mengalami pergeseran ke arah fundasionalis. Mengapa demikian? Pada masa itu muncul dua prinsip dalam metode ilmiah yaitu prinsip sebab-akibat[1] (causality principles) dan prinsip induksi[2] (induction principles). Menurut Hume, kedua prinsip ini tidak dapat dijelaskan secara logis dan empiris.    

Pada abad dua puluh muncullah kelompok baru yang disebut dengan post-empirik dan post-rasionalis. Hingga sekarang, berdasarkan kelemahan-kelamahan yang dimiliki dan diakui oleh kedua kelompok, pemikiran empiris dan rasional saling melengkapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Sumber: Schurz, G. (2014). Philosopy of science: A Unified Approach. Taylor & Francis


[1] Prinsip sebab-akibat menyatakan segala sesuatu di dunia ini terjadi karena interaksi antara sebab dan akibat. Akibat timbul karena ada penyebab, sebab menghasilkan akibat.

[2] Prinsip induksi menyatakan bahwa permasalahan umum di dunia ini dapat dijelaskan berdasarkan kejadian khusus (dari khusus ke umum)