Egoisme di Pelayanan Kesehatan: Sebuah Keniscayaan?

Jurnal Kesehatan AdeHeryana Vol.1 No.9 2021

Diskursus mengenai egoisme hampir selalu berkonotasi negatif, tidak terkecuali di pelayanan kesehatan. “Ego sektoral” dianggap sebagai salah satu penyebab mandegnya pembangunan kesehatan. “Ego profesi” selalu berkaitan dengan dengan ketidaksinkronan dalam perawatan pasien.

Beda halnya dengan altruistik yang selalu beruntung karena manusia memberikan nilai yang lebih positif. Ceramah-ceramah motivator hampir selalu menempatkan altruistik sebagai sikap positif, dan nyaris tidak pernah menganjurkan orang untuk bersikap egois. Ketika pemain sepakbola menggiring bola ke arah lawan dan berusaha mengecoh pemain lawan, namun gagal di tengah jalan, sebagian penonton menganggapnya bermain egois. Namun ketika berhasil menciptakan gol, penonton menganggap skill pemain yang tinggi, bukan egois.

Apakah memang manusia selalu mengaitkan ego dengan hal-hal buruk? Bagaimana pandangan filosofis terhadap sikap egoisme? Apakah egoisme dapat dibutuhkan sebagai bahan “bahan bakar” manusia dalam menjalankan tugasnya? Apakah egoisme ikut berperan dalam keberhasilan pelayanan kesehatan? Artikel ini akan membahas pertanyaan-pertayaan tersebut.

Nilai dari Egoisme

Meski penulis belum pernah melakukan survey tentang nilai suatu keegoisan namun secara empirik dapat diyakini ketika menanyakan kepada seseorang “apakah Anda suka orang egois”, hampir pasti jawaban tidak proporsinya lebih tinggi. Konsep nilai atau value berkaitan dengan keyakinan-keyakinan (belief) seseorang terhadap suatu fenomena atau keadaan yang ada di lingkungannya. Jelaslah bahwa nilai bersifat subyektif. Nilai suatu egoisme dengan demikian merupakan dimensi yang sangat subyektif.

Pengalaman, pendidikan, pengetahuan, trauma masa lalu turut berperan terhadap penilaian manusia tentang egoisme. Pimpinan kelompok bisa membenci anak buahnya yang egois karena pernah gagal mencapai target akibat buruknya kerjasama tim. Namun pemimpin bisa mempertahankan anggota timnya yang terkesan ego, karena menganggap sebagai sikap yang mendorong kompetisi. Semakin tinggi pendidikan, tuntutan terhadap perilaku mementingkan orang lain juga semakin tinggi. Antrian di kantin sebuah universitas yang berjajar rapi misalnya menggambarkan betapa ego untuk mendahului orang lain sangat dihindarkan.

Lingkungan sosial yang terus berkembang ke arah kolaboratif menyebabkan egoisme mengalami degradasi nilai. Penyediaan kursi khusus bagi orang dengan keterbatasan fisik di angkutan umum sudah bukan hal aneh. Bahkan penumpang akan menegur penumpang lain yang tidak berbagi tempat duduk. Termasuk dalam hal ini adalah merokok di tempat umum. Kondisi ini di Indonesia jarang ditemui saat lebih dari 20 tahun lalu.

Filsafat Egoisme

Dalam pandangan filosofis, filsafat menjelaskan egoisme dalam sudut pandang yang lebih dalam dan luas. Penilaian subyektif masyarakat terhadap egoisme – yang melihat dari sisi benar/salah atau baik/buruk – berupaya memberikan penilaian dari sudut pandang positivistik. Penganut positivistik menilai satu kondisi secara lahiriah. Uraian pada sub bab nilai dari egoisme sedikit banyak menjelaskan pandangan positivistik.

Filsafat egoisme berupaya memandang egoisme dari sudut konstruktivis. Egoisme dianggap sebagai entitas yang sebaiknya harus dijalankan manusia agar tetap bertahan hidup di dunia ini. Dengan demikian dalam pandangan filsafat, egoisme dianggap sebagai tindakan yang “tepat” dan “tidak tepat”. Sebuah sudut pandang subyektif namun memberikan kebebasan memilih kepada manusia. Manusia boleh berperilaku egois asalkan terdapat syarat “jika dan hanya jika” yang melatarbelakangi tindakannya.

Dalam filsafat egoisme, Anda dan kita semua boleh bahkan dianjurkan untuk bertindak egois, jika terdapat situasi yang menuntunnya. Anda boleh mendahului atau memotong antrian di rumah sakit jika dan hanya jika dalam keadaan emerjensi. Masyarakat akan memaklumi Anda untuk tidak memberikan tempat duduk prioritas jika dan hanya jika dalam keadaan sakit parah sehingga tidak dapat berdiri.

Meskipun filsafat egois tidak melarang seseorang berperilaku mau mendang sendiri, namun ada sebuah pedoman yang harus dianut. Pedoman tersebut dinamakan etika. Selama tindakan egois sejalan dengan norma-norma dan etika yang berlaku, egoisme seseorang akan dimaafkan. Egoisme yang membutakan etika akan tersandung oleh restu masyarakat sekitar.

Egoisme sebagai Amunisi

Kemajuan dunia baik dari sisi ekonomi, sosial, politik dan sebagainya berakibat pada semakin terbatasnya sumberdaya. Manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan sumberdaya. Di benua Afrika yang beriklim panas dan kering, rakyat miskin berebut air bersih. Pasien JKN berlomba-lomba mendaftar paling awal bahkan dari subuh agar memperoleh pelayanan kesehatan sesuai jadwal.

Setiap minggu seorang teman yang melakukan studi di luar kota harus bersusah payah mendapatkan tiket dengan harga murah. Tindakannya bahkan berujung pada egoisme. Sebagian teman memaklumi, namun sebagian yang lain tidak menerima.

Jelaslah bahwa egoisme dibutuhkan sebagai bahan bakar bagi manusia, sebagai amunisi bagi setiap orang agar tetap survive. Sumberdaya atau material yang diinginkan manusia semakin waktu semakin berkurang. Budaya tepo seliro yang diterapkan di Jawa menyebabkan sebagian masyarakatnya tidak suka berkompetisi, dan menerapkan filosofi nerimo.

Egoisme dan Pelayanan Kesehatan

Bagaimana egoisme bisa muncul dalam pelayanan kesehatan? Sebelum menjawab pertanyaan ini kita ketahui bahwa egoisme dapat dilakukan oleh siapa saja yang berperan dalam pelayanan kesehatan. Pasien harus atau terpaksa berperilaku egois demi mendapatkan antrian dokter paling awal, mendapatkan ambulans, mendapatkan kamar rawat inap dan sebagainya. Egoisme di pelayanan kesehatan juga dilakukan oleh tenaga kesehatan atau antar profesi. Petugas kesehatan berusaha mendapatkan jadwal kerja yang menyenangkan (bukan shift malam), antara profesi kefarmasian dengan keperawatan bisa terjadi gesekan kepentingan dalam penyediaan obat. Egosime bahkah dijalankan oleh pihak di luar pelayanan kesehatan, seperti antara dinas kesehatan dengan dinas ketenagakerjaan dalam mengatur aspek kebijakan kepegawaian.

Dengan demikian egoisme muncul di pelayanan kesehatan karena faktor-faktor seperti ekonomi, sosial, kebudayaan, politis, dan faktor medis/kesehatan. Dari sisi ekonomis, seperti dijelaskan pada paragraf sebelumnya terkait dengan kelangkaan sumberdaya (scarce). Faktor sosial terkait dengan perilaku komunal masyarakat di pelayanan kesehatan. Pasien cenderung akan bertindak mengikuti perilaku kerumunan pasien lain. Jika ada sekelompok pasien memprotes (sebagai representasi egoisme) maka cenderung akan diikuti pasien lain. Budaya masyarakat juga berperan dalam perilaku egoisme masyarakat. Semakin maju dan beradab seharusnya masyarakat semakin menekan ego sentris. Demikian pula faktor politis. Masyarakat liberalis cenderung berkarakter lebih egois dalam melakukan pelayanan kesehatan dibanding masyarakat sosialis. Terakhir adalah faktor medis dan kesehatan itu sendiri. Kondisi penyakit pasien ikut menentukan tindakan egois seseorang.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku egois adalah tindakan yang tidak dapat dihindarkan dalam pelayanan kesehatan. Egois dapat berdampak positif jika dijalankan sesuai dengan etika dan norma yang berlaku di masyarakat.

Fundasionalis vs Empiris dalam Filsafat Ilmu

Jurnal Kesehatan AdeHeryana Vol.1 No.8 2021

Sampai sekarang selalu muncul perdebatan dalam memandang ilmu pengetahuan. Kemarin saat menguji sidang skripsi mahasiswa, terjadi perdebatan antara penguji satu dengan penguji lain. Penguji satu bersikukuh bahwa skripsi tersebut tidak layak lulus karena tidak mengikuti kaidah ilmu yang formal. Sementara penguji yang lain menganggap skripsi ini layak lulus karena secara empiris kondisinya sesuai dengan lapangan. Mengapa sampai saat ini perdebatan antara fundamental dengan empiris masih terjadi?

Penulis membaca buku berjudul Philosophy of Science: A Unified Approach yang ditulis oleh Gerhard Schurz, seorang guru besar filsafat kebangsaan Austria. Pada buku ini Schurz menjelaskan pengertian dan kelompok/aliran yang ada dalam filsagat ilmu.

Menurut Schurz (2014), istilah yang sering dipakai untuk menjelaskan filsafat ilmu antara lain theory of science atau wissenschaftstheorie (bahasa Jerman). Seperti halnya disiplin ilmu lain, Filsafat Ilmu memiliki tujuan yang akan dicapai. Disiplin ilmu ini berupaya menginvestigasi bagaimana sebuah ilmu pengetahuan “bekerja” berdasarkan tujuan dan metode, pencapaian, serta keterbatasan yang dimilikinya.

Filsafat Ilmu terbagi menjadi dua jenis yaitu a) filsafat cabang ilmu (philosophies of particular sciences); dan b) filsafat ilmu secara umum (general philoshopy of sciences). Filsafat cabang ilmu secara khusus mempelajari cabang khusus ilmu pengetahuan seperti filsafat fisika, biologi, psikologi, ilmu sosial atau humanity. Sementara filsafat ilmu (umum) berupaya mencari komponen-komponen ilmu pengetahuan.

Apa yang akan dijawab dalam cabang filsafat ilmu? Schurz menyatakan setidaknya ada enam pertanyaan yang akan dijawab: (1) Bagaimanakah “bahasa” dalam ilmu pengetahuan disusun?; (2) Apakah aturan yang dipakai untuk menjelaskan dan memberikan sanggahan dalam ilmu pengetahuan?; (3) Apakah perbedaan observasi dan data antar ilmu pengetahuan? (4) Apakah hokum yang mendasar ilmu pengetahuan, dan terdiri dari teori apa saja?; (5) Bagaimana pengujian hipotesis dan teorinya? Kapan uji hipotesis tersebut ditolak? Apakah kriteria yang dipakai untuk kelanjutan ilmu pengetahuan?; dan (6) Apakah pencapaian yang dihasilkan melalui penjelasan ilmiah, dan apakah penyebabnya?.

Bagaimanakah pemanfaatan Filsafat Ilmu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut? Pada dasarnya terdapat dua jenis aplikasi Filsafat Ilmu yaitu aplikasi internal dan aplikasi eksternal (Schurz, 2014).

  1. Aplikasi internal atau di dalam ilmu pengetahuan itu sendiri, meliputi: 1) penyediaan pondasi dasar ilmu pengetahuan yang membantu peneliti untuk menentukan pertanyaan penelitian baik yang sifatnya baru atau kontroversial; 2) menentukan lintas disiplin keilmuan; dan 3) menghasilkan kemampuan berargumentasi dalam melakukan telaah kritis.   
  2. Aplikasi eksternal atau di luar ilmu pengetahuan, antara lain: mengatasi masalah pengkotak-kotakan atau demarkasi ilmu pengetahuan di masyarakat, menghindari penyalahgunaan ilmu pengetahuan secara politik dan komersial.

Filsafat Ilmu secara formal pertama kali dicetuskan pada abad 20, namun sebenarnya sudah ada sejak ilmu pengetahuan berkembang. Pada artikel ini akan diurutkan secara kronologis berdasarkan pemikiran-pemikiran yang dihasilkan tokoh-tokoh filsafat.

  1. Pemikiran filsafat pertama kali disampaukan oleh “kelompok fundasionalis” yang menyatakan “pada dasarnya pengetahuan hanya mungkin terjadi jika berdiri di atas dasar-dasar prinsip kepastian dan kebutuhan. Prinsip ini muncul melalui pemikiran intuisi rasional, bukan melalui pengalaman-pengalaman yang sifatnya tidak pasti”. Tokoh yang pertama kali mencetuskan pemikiran ini adalah Aristotles (384-322 SM), yang menyebut pemikiran ini dengan induksi intusi.  Kelompok fundasionalis kemudian berkembang menjadi kelompok “rasionalis” yang dimotori oleh tokoh-tokoh seperti Rene Descartes (1596-1650), Gottfried W. Leibniz (1646-1716), dan Immanuel Kant (1724-1804). Menurut kelompok rasionalis, sesuatu hal memiliki kebenaran jika memiliki unsur-unsur empirik. Pemikiran ini ternyata tidak dapat dipertahankan bersamaan dengan munculnya ilmu pengetahuan modern.
  2. Pemikiran kelompok fundasionalis lama-lama digantikan oleh kelompok metodologi empirik atau disebut “kelompok empirik” pada akhir abad pertengahan oleh tokoh-tokoh seperti Roger Bacon (1214-1292), dan William von Ockham (1295-1349). Pada masa itu dikenal prinsip Ockham yang menyatakan “ketika seorang peneliti/ilmuwan membatalkan seluruh asumsi-asumsi teoritis, maka ia tidak perlu menjelaskan hal-hal yang nampak”. Pada awal abad modern, pemikiran kelompok empirik semakin diakui dalam dunia filsafat bersamaan dengan lahirnya metode ilmiah di periode tersebut, oleh tokoh-tokoh seperti Francis Bacon (1561-1626), John Locke (1632-1704), David Hume (1711-1776) dan John Stuart Mill (1806-1873). Menurut kelompok empirik, sesuatu dikatakan benar jika didasarkan pada pemikiran logis dan konseptual. Namun demikian, pada akhirnya pemikiran kelompok fundamentalis juga mengalami pergeseran ke arah fundasionalis. Mengapa demikian? Pada masa itu muncul dua prinsip dalam metode ilmiah yaitu prinsip sebab-akibat[1] (causality principles) dan prinsip induksi[2] (induction principles). Menurut Hume, kedua prinsip ini tidak dapat dijelaskan secara logis dan empiris.    

Pada abad dua puluh muncullah kelompok baru yang disebut dengan post-empirik dan post-rasionalis. Hingga sekarang, berdasarkan kelemahan-kelamahan yang dimiliki dan diakui oleh kedua kelompok, pemikiran empiris dan rasional saling melengkapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Sumber: Schurz, G. (2014). Philosopy of science: A Unified Approach. Taylor & Francis


[1] Prinsip sebab-akibat menyatakan segala sesuatu di dunia ini terjadi karena interaksi antara sebab dan akibat. Akibat timbul karena ada penyebab, sebab menghasilkan akibat.

[2] Prinsip induksi menyatakan bahwa permasalahan umum di dunia ini dapat dijelaskan berdasarkan kejadian khusus (dari khusus ke umum)