Jurnal Kesehatan AdeHeryana Vol.1 No.3 2021
Konten pada video yang dibuat dan disebarkan oleh kelompok Aliansi Doktor Dunia dengan durasi 9 menit 8 detik menyajikan informasi bahwa Covid-19 tidak berbahaya. Dalam riset akademis khususnya riset komunikasi, video tersebut masuk dalam payung atau bidang kajian “misinformation”. Kajian Covid-19 misinformation terdiri dari tiga bentuk yaitu keyakinan yang bersifat umum, keyakinan terhadap teori konspirasi, dan keyakinan dari agama [1].
Konten informasi dalam video oleh Aliansi Doktor Dunia dapat diidentifikasikan sebagai misinformasi yang muncul sebagai keyakinan terhadap teori konspirasi. Sudut pandang agama menyatakan teori konspirasi harus dihindari. Dalam pandangan Islam, teori konspirasi sepatutnya tidak digunakan sebagai sumber utama dalam membaca fenomena karena nalar saintifitiknya tidak berdasarkan bukti-bukti argumentative dan tidak dianggap sebagai bagian dari tradisi intelektual islam [2]. Sudut pandang kristiani menyatakan teori konspirasi merupakan pandangan yang bersifat pseudoscience yaitu pengetahuan tentang material yang ada di alam dan mengklaim dirinya sebagai sains, namun menggunakan proses pembuktian yang tidak ilmiah [3].
Konten video misinformasi Covid-19 bukan hanya dilakukan oleh Aliansi Doktor Dunia, namun sebuah studi menunjukkan sudah terjadi pada Juni 2020. Dalam analisis terhadap narasi Covid-19 sebagai konspirasi di channel Youtube periode 1-25 Juni 2020 diperoleh lima video dengan jumlah view dan comment tertinggi. Bingkai informasi yang diberikan para content creator pada 5 video tersebut berbeda-beda namun dalam satu konsep yang sama yaitu konspirasi Covid-19. Ahmad Dhani membingkai pandemi Covid merupakan sebuah langkah politik yang dilakukan oleh sekelompok orang. Bossman menarasikan Covid sebagai “Biological Walfare” yang diciptakan oleh China sebagai senjata dalam perang dagang melawan Amerika yang memiliki relevansi dengan pandangan para ilmuan. Robert Harianto mencoba untuk melawan narasi-narasi konpirasi Covid melalui data-data ilmiah dengan menghadirkan seorang Epidiomolog, walaupun dalam video yang disajikan terkesan mengharapkan atensi dari=netizen dengan penggunaan diksi-diksi yang tajam. Who Cares Id menyajikan Covid melalui social experiment dari anak-anak muda, tujuh dari sepuluh anak muda menganggap Covid ini sebagai sebuah konspirasi, namun narasi konspirasi dari ketujuh anak muda ini dilemahkan dengan kajian ilmiah. Grand Linch menyajikan video yang menggambarkan bahwa pasien dengan status OTG (Orang Tanpa Gejala) dapat menular adalah suatu konspirasi, menurutnya OTG tidak dapat menular [4].
Keyakinan terhadap konspirasi yang berkaitan dengan Covid-19 pada dasarnya terdiri dari dua yaitu 1) keyakinan konsiprasi yang bersifat umum; dan 2) teori konspirasi yang berkaitan dengan pemerintahan yang berkuasa. Studi di Polandia menunjukkan kemampuan individu untuk mengendalikan diri berkaitan dengan dua jenis keyakinan tersebut. Kepedulian terhadap pengendalian kolektif berhubungan positif dengan keyakinan konspirasi secara umum, dan berhubungan negatif dengan teori konspirasi yang berkaitan dengan pemerintah. Kelompok yang meyakini konspirasi dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa terindikasi kurang mematuhi protocol pencegahan Covid-19 [5].
Keyakinan bahwa Covid-19 merupakan hasil konspirasi menurut sebuah studi di US berhubungan dengan empat hal: 1) keyakinan terhadap penanganan pandemic; 2) kepatuhan untuk mencegah covid-19 seperti menggunakan masker; 3) keyakinan terhadap keamanan vaksin; dan 4) minat untuk melakukan vaksinasi covid-19. Studi ini juga menunjukkan keyakinan terhadap teori konspirasi tetap berlanjut hingga empat bulan kemudian yaitu dari Maret hingga Juli 2020. Untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan melakukan counter informasi oleh jurnalis dan pengamat yang memiliki ideologi konservatif di media [6].
Studi terhadap responden yang sebagian besar berdomisili di US, Inggris dan kontinen Eropa menunjukkan keyakinan Covid-19 merupakan konspirasi berhubungan dengan keyakinan akan konspirasi yang bersifat umum, pendidikan rendah, dan sikap buruk terhadap pemerintahan yang berkuasa [7].
Misinformasi dapat mempengaruhi respon individu terhadap informasi. Masyarakat harus didorong untuk mengevaluasi kredibilitas informasi serta mempercayakan informasi tentang Covid-19 kepada lembaga yang dapat dipercaya seperti WHO, PBB, CDC [1]. Di Indonesia tentunya sumber terpercaya diperoleh dari Kemenkes dan Satgas Covid-19. Selain itu dapat dimaksimalkan peran psikiater untuk mengatasi keyakinan bahwa Covid-19 adalah hasil konspirasi [8].
REFERENSI:
[1] Z. Barua, S. Barua, S. Aktar, N. Kabir, and M. Li, “Effects of misinformation on COVID-19 individual responses and recommendations for resilience of disastrous consequences of misinformation,” Prog. Disaster Sci., vol. 8, p. 100119, 2020, doi: 10.1016/j.pdisas.2020.100119.
[2] A. M. R. Maulana, “Pandemi dalam Worldview Islam: Dari Konsepsi ke Konspirasi,” Tribakti, vol. 31, no. 3, pp. 307–323, 2020.
[3] E. Christina, “Pandemi Covid-19 adalah 666?,” J. Teol. Pentakoste, vol. 1, no. 2, pp. 1–23, 2020.
[4] G. S. Wahyudi and A. Akalili, “Ragam Narasi ‘ Covid-19 sebagai Konspirasi ’ di Portal Media YouTube Pendahuluan,” J. Media Commun. Sci., vol. 3, pp. 26–37, 2020.
[5] T. Oleksy, A. Wnuk, D. Maison, and A. Łyś, “Content matters. Different predictors and social consequences of general and government-related conspiracy theories on COVID-19,” Pers. Individ. Dif., vol. 168, no. May 2020, p. 110289, 2021, doi: 10.1016/j.paid.2020.110289.
[6] D. Romer and K. H. Jamieson, “Conspiracy theories as barriers to controlling the spread of COVID-19 in the U.S.,” Soc. Sci. Med., vol. 263, p. 113356, 2020, doi: 10.1016/j.socscimed.2020.113356.
[7] N. Georgiou, P. Delfabbro, and R. Balzan, “COVID-19-related conspiracy beliefs and their relationship with perceived stress and pre-existing conspiracy beliefs,” Pers. Individ. Dif., vol. 166, no. April, p. 110201, 2020, doi: 10.1016/j.paid.2020.110201.
[8] G. Andrade, “The role of psychiatrists in addressing COVID-19 conspiracy theories,” Asian J. Psychiatr., vol. 53, p. 102404, 2020, doi: 10.1016/j.ajp.2020.102404.