Buku Ajar Asuransi Kesehatan dan Managed Care (Free e-book)

Materi Ajar AdeHeryana Vol.1 No.2

Awal tahun 2021 merupakan tahun ke 3 penulis dipercaya mengajar mata kuliah Asuransi Kesehatan dan Managed Care di program studi Kesehatan Masyarakat Universitas Esa Unggul. Selama bekerja di industri pelayanan kesehatan penulis belum pernah secara langsung bekerja di perusahaan asuransi, namun dalam pekerjaan sehari-hari banyak bersingungan dengan urusan jaminan kesehatan terutama asuransi kesehatan swasta dan ditunjang dengan tesis penulis yang masih bersinggungan dengan jaminan sosial. Inilah yang memutuskan penulis berani memberi pengajaran tentang asuransi kesehatan kepada mahasiswa. Buku berformat digital ini terdiri dari 150 lebih halaman, dan merupakan kumpulan paper yang penulis buat sebagai bahan ajar atau modul kuliah. Versi ini penulis putuskan di “gratiskan” kepada siapa saja yang memerlukan referensi tentang asuransi kesehatan. Materi dapat diunduh pada website dosen Esa Unggul. Mohon masukan yang konstruktif dari praktisi, dosen yang berkompetensi di bidang asuransi kesehatan dalam rangka perbaikan buku ini.

Untuk download e-book silakan klik link berikut

https://www.researchgate.net/publication/349789706_Asuransi_Kesehatan_Managed_Care_Buku_Ajar

Herd Immunity: Pengertian, Mekanisme dan Model Matematis

Jurnal Kesehatan AdeHeryana Vol.1 No.14

Tujuan program vaksinasi COVID-19 sebagaimana yang didengungkan para pengambil keputusan di bidang kesehatan adalah membentuk kekebalan pada suatu komunitas/populasi/kelompok masyarakat atau dikenal dengan Herd Immunity (HI). Di Indonesia target HI yang dicanangkan adalah 70% sesuai dengan karakteristik penyebaran COVID-19. Suatu kegiatan imunisasi setidaknya memiliki 3 manfaat yakni mencegah penularan penyakit, mengurangi risiko penyakit dalam grup, dan menunjang terjadinya herd immunity. Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan HI? Bagaimana mekanisme HI membendung wabah penyakit? Bagaimana kita dapat menentukan bahwa HI pada suatu populasi telah mencapai 70% misalnya? Artikel yang awalnya dibuat penulis pada tahun 2015 ini dan direproduksi kembali tahun 2021 sehubungan dengan masalah penularan COVID-19 sejak awal tahun 2020 bertujuan untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas. Beberapa literatur penulis tambahkan untuk memperdalam konsep.

Silakan download materi pada link berikut:

Gambar 1. Mekanisme Herd Immunity

Konsumsi Alkohol di Indonesia: Studi Literatur

Jurnal Kesehatan AdeHeryana Vol.1 No.13 2021

Awal Maret 2021 pemerintah memutuskan membatalkan lampiran Peraturan Presiden tentang investasi pada industri alkohol pada empat provinsi. Artikel ini tidak akan membahas secara politis alasan penghapusan kebijakan tersebut. Penulis ingin menyoroti pada kondisi terkini penggunaan/konsumsi alkohol, apa penyebabnya dan bagaimana dampaknya terutama pada masalah kesehatan. Artikel disusun dengan melakukan review terhadap konsumsi alkohol di Indonesia yang diperoleh dari database Google Scholar berbahasa Indonesia. Hasil penelusuran diperoleh 17 artikel penelitian rentang tahun 2015-2020. Penyusunan disajikan dengan konsep sebab-akibat yaitu masalah (konsumsi alkohol), penyebab (faktor risiko), dan dampak (efek negatif) dari konsumsi alkohol.

MASALAH KONSUMSI ALKOHOL DI INDONESIA

Konsumsi alkohol bukan hanya dilakukan oleh kalangan orang dewasa, namun sudah terjadi pada remaja dan masuk dalam kategori yang memprihatinkan. Berikut beberapa studi yang berhasil penulis kumpulkan yang melibatkan kelompok usia remaja:

  • Studi di Kecamatan Sugio, Lamongan melibatkan remaja laki-laki usia 15-21 tahun yang mengkonsumsi alkoloh diperoleh 29 dari 46 (63%) masuk kategori konsumsi rendah dan 13% konsumsi berat (Amalia, 2015).
  • Studi di desa Keramas, Blahbatuh, Gianyar yang melibatkan 250 remaja putra menunjukkan sebanyak 63% mengkonsumsi alkohol dan 35% responden bersikap positif terhadap konsumsi alkohol (Wijaya, 2016).
  • Studi di kabupaten Pati melibatkan 140 remaja laki-laki yang pernah konsumsi alkohol menunjukkan 78 remaja (56%) mengalami adiksi/ketagihan, sebagian besar memiliki kepercayaan diri, 31% ingin coba-coba, 80% melakukan pelarian dari masalah, 61% memiliki pengetahuan yang baik, 25% faktor keluarga tidak baik, dan 33% faktor lingkungan tidak baik (Maula & Yuniastuti, 2017).
  • Terhadap 85 laki-laki di desa Tambun, Likupang Barat, Minahasa Utara, Kalengkongan dkk (2018) menemukan bahwa 26% responden pernah mengkonsumsi alkohol dalam 6 bulan terakhir dan sebagiannya menyatakan mengalami gangguan kognitif.
  • Studi di desa Grinsing, Batang melibatkan 150 remaja laki-laki diperoleh 84 orang (56%) masuk dalam kategori membahayakan dalam konsumsi alkohol, dan 30 orang (20%) tidak mengkonsumsi alkohol (Solina dkk, 2019).
  • Studi di kota Singkawang melibatkan 278 siswa sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) menunjukkan 106 siswa (38%) mengkonsumsi minumal beralkohol (Azmiardi, 2020).
  • Studi di kecamatan Boja, Semarang melibatkan 100 siswa SMA menujukkan 57% pernah konsumsi alkohol, 26% memiliki pengetahuan kurang baik tentang alkohol, 40% sikap kurang baik tentang alkohol, 53% menyatakan tersedia minuman alkohol, 56% mudah mengakses minumann beralkohol, 17% menyatakan ada aturan llegalitas minum alkohol, dan 69% menyatakan tidak ada peraturan larangan alkohol di sekolah (Lantyani, 2020).

Studi oleh Ruus dkk (2016) secara acak terhadap laki-laki di kecamatan Sinonsayang, Minahasa Selatan digambarkan bahwa 70 dari 90 orang (78%) mengkonsumsi alkohol. Seluruh responden mengkonsumsi alkohol jenis Cap Tikus, sebagian mengkonsumsi 1-4 kali seminggu serta sepertiganya meminum > 5 sloki, dan sebagian sudah mengkonsumsi di atas 10 tahun. Sementara studi oleh Cora dkk (2019) terhadap 31 mahasiswa yang mengkonsumsi alkohol menunjukkan pola perilaku sebagai berikut: 71% mengkonsumsi sebanyak >10 sloki, dan 55% sudah mengkonsumsi alkohol selama 6-10 tahun. Studi pada pasien rawat jalan usia 17-60 tahun di Puskesmas Kolongan Minahasa Barat menunjukkan 36 dari 90 (36%) responden mengkonsumsi alkohol, 69% mengkonsumsi jenis Cap Tikus, 89% mengkonsumsi alkohol 1-4 kali per minggu, 64% mengkonsumsi 10-30 gram alkohol per minggu, dan 58% sudah mengkonsumsi alkohol > 10 tahun (Grace dkk, 2019).

Kondisi konsumsi alkohol pada pekerja dijelaskan oleh Jayanti dkk (2017) pada sektor pariwisata. Sebanyak 33 pekerja pariwisata usia 17-50 tahun terlibat dalam studi dan diperoleh pola konsumsi alkohol sebagai berikut: 40% mengkonsumsi alkohol jenis Beer, 48% mengkonsumsi 0,29-6 ml per hari atau kategori ringan, 56% mengkonsumsi alkohol 3 kali seminggu atau lebih, dan 61% sudah mengkonsumsi alkohol lebih dari 4 tahun.

FAKTOR RISIKO KONSUMSI ALKOHOL

Konsumsi alkohol berkaitan dengan faktor-faktor yang muncul dari dalam diri individu dan faktor lingkungan. Faktor individu meliputi pengetahuan, sikap, coba-coba dan coping masalah. Sedangkan faktor lingkungan meliputi peran orang tua, pengaruh teman sebaya, kondisi lingkungan, ketersediaan minuman alkohol, kemudahan akses minumal alkohol, ada larangan minum alkohol.

Faktor inernal yang berhubungan dengan konsumsi alkohol antara lain pengetahuan dan sikap. Studi Wijaya (2016) menunjukkan remaja putra yang memiliki pengetahuan kurang tentang alkohol berisiko 7 kali mengkonsumsi alkohol. Sementara sikap positif terhadap alkohol berisiko 14 kali mengkonsumsi alkohol. Sementara menurut Lantyani dkk (2020), terdapat korelasi antara konsumsi alkohol dengan sikap. Faktor coba-coba dan coping terhadap masalah yang dialami berhubungan dengan adiksi remaja terhadap minuman alkohol (Maula & Yuniastuti, 2017).

Salah satu faktor lingkungan yang berhubungan adalah peran orang tua. Studi terhadap remaja laki-laki peminum alkohol usia 15-21 tahun di kecamatan Sugio, Lamongan menunjukkan konsumsi alkohol diperberat oleh peran orang tua. Semakin kurang peran orang tua, konsumsi alkohol juga semakin tinggi (Amalia, 2015). Pola asuh orang tua yang kurang berisiko 8 kali untuk mengkonsumsi alkohol (Wijaya, 2016). Faktor keluarga berhubungan dengan adiksi remaja terhadap konsumsi alkohol (Maula & Yuniastuti, 2017).

Disamping pola asuh orangtua, faktor lingkungan yang turut berperan adalah teman sebaya dan kondisi lingkungan. Teman sebaya negatif memberi peluang 10 kali mengkonsumsi alkohol, sedangkan kondisi lingkungan negatif berpeluang 16 kali dibanding positif (Wijaya, 2016). Penelitian Lantyani dkk (2020) menunjukkan ada hubungan antara konsumsi alkohol dengan ketersediaan minuman, akses terhadap minuman, larangan minum alkohol di sekolah, dan teman sebaya. Adiksi remaja terhadap minuman alkohol berhubungan dengan faktor lingkungan sosial (Maula, 2017).

Studi kualitatif terhadap 10 remaja oleh Sandi dkk (2020) terungkap tujuh tema besar motivasi sosial terkait konsumsi alkohol yakni pergaulan, ajakan teman, solidaritas, mendapat banyak teman, diakui, terlihat keren dan kebiasaan. Lingkungan sosial berperan dalam pemilihan tindakan yang dilakukan remaja yaitu konsumsi alkohol. Motivasi sosial yang kuat dijadikan sebagai alasan remaja mengkonsil alkohol. Artinya dalam hal ini remaja memutuskan untuk mengkonsumsi alkohol dalam keadaan dan kondisi tertentu didasarkan pada interaksi antara lingkungan sosial dengan proses sosial.

DAMPAK KONSUMSI ALKOHOL

Orang yang mengkonsumsi alkohol pada dasarnya dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1) Kelompok konsumsi alkohol berlebih yang akut dan mengalami “keracunan” atau toksikasi; 2) Kelompok yang memiliki toleransi terhadap alkohol atau kronis; dan 3) Kelompok yang mengalami ketergantungan (adiksi) terhadap alkohol. Konsumsi alkohol berlebih pada ketiga kelompok ini memberikan dampak gangguan kesehatan secara fisik dan psikis (Tritama, 2015).

Dampak secara fisik meliputi gangguan kesehatan terhadap sistem tubuh, antara lain sistem syaraf pusat (otak), sistem kardiovaskuler (jantung, pembuluh darah), sistem pencernaan (lambung, usus, liver), dan sistem reproduksi wanita (rahim) (Tritama, 2015).

Gangguan terhadap sistem kardiovaskuler dibuktikan oleh studi terhadap kelompok kasus-kontrol lansia di kota Tomohon menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi alkohol dengan tekanan darah tinggi atau hipertensi (Malonda dkk, 2012). Studi lainnya di kecamatan Kombi, Minahasa, menunjukkan korelasi yang kuat antara kebiasaan konsumsi alkohol dengan hipertensi pada kelompok usia 30-60 tahun laki-laki dan perempuan (Memah dkk, 2019), dan pada pasien rawat jalan Puskesmas Kolongan Minahasa Utara menunjukkan ada hubungan antara kejadian hipertensi dengan konsumsi alkohol. Dampak hipertensi juga ditunjukkan Jayanti dkk (2017) pada pekerja pariwisata usia 17-50 tahun yang didominasi laki-laki. Kejadian hipertensi pada pekerja pariwisata memiliki korelasi yang kurang kuat dengan jenis minuman alkohol, serta berkoleasi cukup kuat dengan pola konsumsi alkohol.

Conreng dkk (2014) melakukan studi yang melibatkan 30 pria dewasa muda usia 21-40 tahun yang lebih dari 1 tahun konsumsi alkohol di kelurahan Tateli (sebanyak 22) dan Tateli Atas (sebanyak 8 orang). Pada kelurahan Tateli 8 dari 14 responden (57%), dan di kelurahan Tateli Atas sebanyak 2 dari 6 (33,3%) mengalami peningkatan kadar Gamma-glutamyl Transferase (GGT). Namun demikian korelasi antara konsumsi alkohol kronis dengan kenaikan GGT sangat lemah. Sementara studi Cora dkk (2019) menunjukkan ada hubungan antara jumlah konsumsi alkohol dengan kenaikan kadar trigliserida.

Gangguan terhadap sistem reproduksi wanita terutama pada ibu hamil dijelaskan dalam studi literatur oleh Fitriana (2019). Dalam studinya dikatakan ” … Alkohol dan rokok pada masa kehamilan dapat mengganggu ibu dan janin. Alkohol dapat melintasi penghalang plasenta dan menyebabkan efek negative terhadap ibu dan janin … Efek alkohol dan rokok pada ibu hamil antara lain adalah aborsi spontan, celah orofasial, atresia anal, kelahiran preterm, berat badan bayi lahir rendah, hambatan dalam petumbuhan, abrupsio plasenta, stillbirth, dan sudden infant death syndrome (SIDS)”.

Sedangkan secara psikis, konsumsi alkohol berlebih menyebabkan perubahan dan penyimpangan perilaku serta pola pikir. Kondisi ini kemudian menimbulkan perilaku kekerasan dan kriminalitas yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain (Tritama, 2015). Studi meta-analisis oleh Rahardjo (2008) menyimpulkan terdapat korelasi antara penggunaan alkohol dengan perilaku seks berisiko. Perilaku alkohol merupakan sebagian kecil dari prediktor yang ada dalam perilaku seks berisiko. Di Singkawang Pontianak, studi terhadap siswa sebuah sekolah SMA menunjukkan remaja yang minum alkohol berisiko 87 kali menggunakan narkotika. Gangguan pola pikir ditunjukkan pula oleh studi Kalengkongan dkk (2018) yang menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi alkohol dalam 6 bulan terakhir dengan gangguan fungsi kognitif.

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa konsumsi alkohol masyarakat Indonesia memiliki rentang usia panjang sejak remaja hingg lansia dengan prevalensi antara 26-78%. Konsumsi alkohol berkaitan dengan faktor-faktor yang muncul dari dalam diri individu dan faktor lingkungan. Faktor individu meliputi pengetahuan, sikap, coba-coba dan coping masalah. Sedangkan faktor lingkungan meliputi peran orang tua, pengaruh teman sebaya, kondisi lingkungan, ketersediaan minuman alkohol, kemudahan akses minumal alkohol, ada larangan minum alkohol. Dampak konsumsi alkohol meliputi gangguan kesehatan secara fisik menyerang sistem kardiovaskuler, syaraf pusat, pencernaan dan reproduksi wanita. Konsumsi alkohol juga berkaitan dengan kenaikan kadar GGT dan Trigliserida. Sedangkan secara psikis, konsumsi alkohol berlebih menyebabkan perubahan dan penyimpangan perilaku serta pola pikir.

REFERENSI

Amalia, A. (2015). Peran Orang Tua terhadap Konsumsi Alkohol pada Remaja Putra di Desa Sidorejo Kecamatan Sugio Kabupaten Lamongan. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol.11 No.2, 126-134.

Azmiardi, A. (2020). Pengaruh Perilaku Merokok, Konsumsi Alkohol dan Hiburan Malam terhadap Risiko Penggunaan Narkotika. Faletehan Health Journal Vol.7 No.1, 30-36

Conreng, D., B.J. Waleleng, & S. Palar (2014). Hubungan Konsumsi Alkohol dengan Gangguan Fungsi Hati pada Subjek Pria Dewasa Muda di Kelurahan Tateli dan Tateli Atas Manado. Jurnal E-Clinic Unsrat Vol.2 No.2, 1-5

Cora, D.I., J.N. Engka, & D. Pangemanan (2019). Hubungan Konsumsi Alkohol dengan Kadar Trigliserida pada Mahasiswa. Jurnal Medik dan Rehabilitasi Unsrat Vol.1 No.3, 1-4

Fitriana, K.R. (2019). Efek Konsumsi Alkohol dan Merokok pada Wanita Hamil. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, Vol.10 No.2, 233-237.

Jayanti, I.G.A.N, N.K. Wiradnyani, & I.G. Ariyasa (2017). Hubungan Pola Konsumsi Minuman Beralkohol terhadap Kejadian Hipertensi pada Tenaga Kerja Pariwisata di Kelurahan Legian. Jurnal Gizi Indonesia Vol.6 No.1, 65-70.

Kalengkongan, C., B.T. Ratag, & A.F.C. Kalesaran (2018). Hubungan antara Konsumsi Alkohol dengan Gangguan Fungsi Kognitif pada Masyarakat Desa Tambun Kec. Likupang Barat. Jurnal Kesmas Unsrat Vol.7 No.3, 1-9

Lantyani, R.C., B.T. Husodo, & N. Handayani (2020). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Remaja terhadap Konsumsi Alkohol pada Siswa SMA Negeri di Wilayah Kecamatan Boja. Jurnal Kesehatan Masyarakat UNDIP Vol.8 No.1, 1-8

Malonda, N.S.H., L.K. Dinarti, R. Pangastuti (2012). Pola Makan dan Konsumsi Alkohol sebagai Faktor Risiko Hipertensi pada Lansia. Jurnal Gizi Klinik Indonesia Vol.8 No.4, 202-212

Maula, L.K., & A. Yuniastuti (2017). Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Penyalahgunaan dan Adiksi Alkohol pada Remaja di Kabupaten Pati. Public Health Perspective Journal Vol.2 No.2, 168-174

Memah, M., G.D. Kandou, J.E. Nelwan (2019). Hubungan antara Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Alkohol dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas Kombi Kecamatan Kombi Kabupaten Minahasa. Jurnal Kesmas Unsrat Vol.8 No.1, 68-74

Rahardjo, W. (2008). Konsumsi Alkohol, Obat-obatan Terlarang dan Perilaku Seks Berisiko: Suatu Studi Meta-Analisis. Jurnal Psikologi Vol.35 No.1, 80-100.

Ruus, M., B.J. Kepel, & J.M.L. Umboh (2016). Hubungan antara Konsumsi Alkohol dan Kopi dengan Kejadian Hipertensi pada Laki-laki di Desa Ongkaw Dua Kecamatan Sinonsayang Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal Kesmas Unsrat Vol.5 No.1, 65-72

Sandi, Y.D., L.N. Hidayati, & E. Andarini (2020). Motivasi Sosial Konsumsi Alkohol Pada Remaja. Jurnal Penelitian Keperawatan Vol.6 No.2, 81-85

Solina, S., T. Arisdiani, & Y.P. Widyastuti (2018). Hubungan Peran Orang Tua dengan Perilaku Konsumsi Minuman Alkohol pada Remaja Laki-laki. Jurnal Keperawatan Vol.6 No.1, 36-45.

Tritama, T.K (2015). Konsumsi Alkohol dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan. Jurnal Majority Vol.4 No.8, 7-10. http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/1465

Wijaya, I.P.A. (2016). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingginya Konsumsi Alkohol Pada Remaja Putra Di Desa Keramas Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar. Jurnal Dunia Kesehatan Vol.5 No.2, 15-23

Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar (Basic Occupational Health Services)

Jurnal Kesehatan AdeHeryana Vol.1 No.12 2021

Pelayanan kesehatan kerja merupakan salah satu upaya yang dijalankan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan pada pekerja, sebagaimana diatur dalam pasal 164 Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai bagian dari sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan terhadap tenaga kerja juga beririsan antara regulasi yang dikeluarkan oleh kementerian tenaga kerja dan kementerian kesehatan. Pertanyaannya, standar yang mana sebaiknya harusnya diikuti? Kemenaker atau kemenkes?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saat menyusun tesis magister sarjana kesehatan masyarakat dengan topik pelayanan kesehatan kerja pasca penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) penulis berupaya membandingkan regulasi pelayanan kesehatan kerja dari tiga kebijakan yang dikeluarkan kementerian tenaga kerja dan kementerian kesehatan dengan kerangka Basic Occupational Health Service yang diadopsi artikel Rantanen (2005). Rantanen menyusun kerangka dasar pelayanan kesehatan kerja berdasarkan pedoman yang dikeluarkan World Health Organization (WHO), International Labor Organization (ILO), dan International Comission on Occupational Health (ICOH). Tiga regulasi di Indonesia yang dibandingkan antara lain:

  • Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 03 tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja
  • Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1758 tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Kesehatan Kerja
  • Pedoman Klinik Perusahaan (Depkes RI)

Dalam artikelnya Rantanen membagi kerangka dasar pelayanan kesehatan kerja ke dalam 12 (dua belas) aktivitas yaitu:

  1. Orientasi dan perencanaan (orientation and planning) yang meliputi kegiatan-kegiatan:
    • Menganalisis tipe produksi/operasi perusahaan untuk mengidentifikasi jenis risiko dan masalah pekerjaan
    • Melakukan peninjauan terhadap permasalahan yang telah teridentifikasi sebelumnya
    • Melakukan peninjauan terhadap karakteristik pekerja di perusahaan
    • Melakukan peninjauan terhadap data-data penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja
    • Pengumpulan data-data seperti metode kerja, bahan-bahan kimia serta substansi sejenisnya
    • Menilai pengetahuan pekerja dan manajemen tentang permasalahan kesehatan kerja
    • Melakukan perencanaan jika terjadi perubahan dalam sistem produksi/operasi (seperti: instalasi fasilitas/alat/mesin baru)
  2. Surveilans lingkungan kerja (surveillance of the work environment) yang meliputi:
    • Mengindentifikasi dan mengevaluasi faktor-faktor ergonomi yang berpengaruh terhadap kesehatan pekerja
    • Menilai kondisi higienis dan faktor kerja, seperti: pajanan fisik, kimia, biologi yang dapat meningkatkan risiko pada kesehatan pekerja
    • Bila dibutuhkan melakukan penilaian pajanan faktor psikologis dan organisasi kerja yang tidak diharapkan
    • Menilai risiko kecelakaan kerja dan bahaya mayor
    • Menilai ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) baik secara kolektif maupun individu
    • Menilai rancangan pengendalian sistem untuk mengeliminasi, mencegah dan mengurangi pajanan
    • Menilai fasilitas hygiene dan sanitasi secara umum
  3. Surveilans kesehatan tenaga kerja (surveillance of worker’s health), yang meliputi:
    • Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja
    • Pemeriksaan kesehatan secara periodik
    • Pemeriksaan kesehatan untuk kembali bekerja (return-to-work health examinations)
    • Pemeriksaan kesehatan secara umum
    • Pemeriksaan kesehatan menjelang pensiun (at termination or after ending of service)
  4. Penilaian terhadap risiko kesehatan dan keselamatan (assessment of health and safety risks), yang meliputi:
    • Mengidentifikasi bahaya kesehatan kerja (tindak lanjut dari surveilans lingkungan kerja)
    • Mengidentifikasi bahaya yang secara khusus ditemui pada pekerja atau kelompok pekerja
    • Menganalisis efek bahaya terhadap pekerja (misalnya: mekanisme terjadinya, jenis pajanan, nilai ambang batas, hubungannya dengan dosis-respon, efek kesehatan yang tidak diharapkan, dll)
    • Mengindetifikasi tingkatan (intensitas) dan jangkauan (volume) dari risiko
    • Mengidentifikasi pekerja dan kelompok pekerja yang tergolong rentan
    • Mengevaluasi pengukuran pencegahan dan pengedalian bahaya yang dapat dilakukan
    • Memberikan kesimpulan dan rekomendasi bagi manajemen dan pengendalian risiko
    • Melakukan dokumentasi terhadap temuan dalam penilaian
    • Melakukan peninjauan secara periodik dan bila diperlukan melakukan penilaian ulang terhadap risiko
    • Melakukan dokumentasi terhadap hasil penilaian risiko
  5. Informasi dan edukasi tentang risiko, serta sosialisasi tentang tindakan pencegahan dan pengendalian yang dibutuhkan, yang meliputi:
    • Memastikan bahwa pekerja dan pimpinan peduli terhadap kewajibannya dalam mengetahui potensi bahaya di tempat kerja
    • Penyampaian informasi sehingga pekerja peduli akan haknya dalam menerima informasi yang berkaitan dengan bahaya kerja secara terus menerus
    • Memastikan bahwa pimpinan memiliki kepedulian dalam menjalankan tanggung jawab untuk memberikan pelatihan praktik K3 bagi pekerja
    • Memastikan bahwa pekerja memiliki kepedulian untuk menjalankan instruksi K3 yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya
    • Memastikan bahwa perusahaan telah mengikuti kebijakan khusus yang berkaitan dengan kerahasiaan informasi kesehatan individu pekerja dan informed consent
    • Memastikan bahwa petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pesonel K3 diberikan secara jelas dan mudah dipahami oleh pekerja serta manajemen
  6. Tindakan pencegahan oleh management, serta pengendalian bahaya dan risiko K3 , yang meliputi:
    • Mengedalikan bahaya pada sumbernya
    • Teknologi ventilasi atau pengendalian udara
    • Pengendalian debu
    • Pengukuran ergonomi
    • Penggunaan APD
    • Kebijakan tentang kondisi suhu dan sejenisnya
  7. Pencegahan kecelakaan, yang meliputi:
    • Perencanaan keamanan fasilitas, mesin dan sebagainya
    • Praktik petugas rumahtangga, pesuruh dan kebersihan yang baik
    • Konstruksi jalanan dan struktur lainnya yang aman (seperti: scaffolding, pagar, dll)
    • Melindungi mesin-mesin yang berbahaya
    • Bantuan teknis untuk mengangkat dan memindahkan beban yang berat
    • Sarana keamanan dan APD yang aman bagi pekerja
    • Menganalisis risiko bahaya besar, serta memberikan peringatan keamanan secara berulang
  8. Mempertahankan kesiapsiagaan dalam pertolongan pertama, dan partisipasi seluruh pihak dalam kesiapsiagaan dan kedaruratan, yang meliputi:
    • Menyediakan sarana pertolongan pertama ditempat kerja sesuai kebutuhan
    • Memperkenalkan dan melatih praktik pertolongan pertama kepada pekerja dan pengawas kerja
    • Memeliharan dan secara periodik memeriksa kesiapan fasilitas pertolongan pertama
    • Berpartisipasi dalam perencanaan kegawatdaruratan dari sisi kesehatan, serta dalam mengorganisir komponen kesehatan dalam respon kegawatdaruratan
  9. Mendiagnosis penyakit akibat kerja
    • Mengidentifikasi pajanan yang mengakibatkan penyakit akibat kerja
    • Pemeriksaan klinis untuk mengetahui hubungannya dengan pajanan khusus
    • Mengesampingkan faktor non okupasi sebagai penyebab penyakit
    • Menyimpulan penyakit akibat kerja baik yang telah ada atau belum ada
    • Mempertimbangkan penyakit akibat kerja dalam kompensasi pegawai
    • Mengusulkan tindakan pencegahan bagi pekerja dan tempat kerja
    • Melaporkan penyakit akibat kerja kepada pihak berwenang
  10. Pelayanan kesehatan secara umum, pengobatan, dan layanan rehabilitasi, yang meliputi:
    • Menjalankan program imunisasi dan tindakan pencegahan lainnya
    • Berpartisipasi dalam kegiatan dan program kesehatan masyarakat
    • Mempekerjakan dokter umum pada layanan kesehatan umum
    • Melakukan inspeksi dan penyuluhan terkait sanitasi kantin dan fasilitas sanitasi
    • Memberikan penyuluhan dan pendidikan terkait dengan hygiene komunitas dan pekerja
    • Peningkatan kesehatan secara umum dan pengenalan gaya hidup sehat
    • Tindakan rehabilitasi dan penyuluhan sebelum muai bekerja kembali
  11. Pencatatan, yang meliputi:
    • Memelihara catatan kesehatan secara umum yang dibutuhkan jika pekerja menjadi pasien di pelayanan kesehatan lainnya
    • Mengumpulkan data-data survey, deteksi, dan pengukuran bahaya serta penilaian risiko
    • Mengumpulkan laporan penyakit dan kecelakaan kerja
    • Mengumpulkan data pemeriksaan kesehatan
    • Mempersiapkan dokumen-dokumen untuk mengusulkan program pencegahan dan pengedalian
  12. Evaluasi, yang meliputi:
    • Melakukan audit mandiri terhadap jenis pelayanan
    • Menganalisis data-data surveilans lingkungan kerja, pajanan , hasil pemeriksaan kesehatan, laporan penyakit dan kecelakaan kerja
    • Menganalisis kecendrungan indikator kunci(pajanan, kecelakaan, penyakit, kesakitan, absensi)
    • Menganalisis kinerja pelayanan
    • Mengidentifikasi kebutuhan untuk memodifikasi dan mengembangkan pelayanan kesehatan kerja dasar

Jika dibandingkan dengan ketiga regulasi tersebut, pada dasarnya semua sudah tercakup. Hanya saja cakupan tersebut parsial atau tidak menyeluruh. Ada baiknya pemerintah menerbitkan aturan yang secara rinci mengatur pelayanan kesehatan kerja dasar berdasarkan kerangka Rakonen, dalam rangka menindaklanjuti Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja.

Sumber: Rantanan, J. (2005). Basic occupational health services—their structure, content and objectives. SJEWH Suppl 2005, No.1, hal 5-15

Ade-Heryana_Ringkasan-UKK-per-kebijakan

Tantangan Penelitian

Jurnal Kesehatan AdeHeryana Vol.1 No.11 2021

Dunia riset akan semakin dinamis, salah satunya penelitian yang berkaitan dengan perilaku pekerja atau pimpinan umumnya berada dalam wadah riset Psikologi Industri dan Organisasi (PIO). Hasil studi di bidang ini sudah banyak dihasilkan. Lalu tantangan seperti apa yang harus dihadapi ke depannya?

Rogelberg & Brooks-Laber (2015) dalam bab berjudul “Securing out Collective Future: Challenges Facing Those Designing and Doing Research in Industrial and Organizational Psychology” menyatakan setidaknya ada delapan tantang yang harus dihadapi dalam menjalankan riset PIO, yaitu:

  1. Pengukuran masalah penelitian yang lebih baik. Jika pengukuran dilakukan dengan berbagai kesalahan maka pertanyaan penelitian dan keberlanjuran ilmu tidak dapat diatasi dengan baik. Penggunaan teknologi dapat membantu pengukuran masalah menjadi lebih baik
  2. Mencegah partisipan penelitian menjadi lelah dan tidak berminat kembali. Peneliti harus memotivasi responden atau partisipan serta menciptakan kondisi agar tetap terlinat dalam penelitian.
  3. Berupaya mendapatkan triangulasi. Riset dengan sumber atau metode tunggal (singular) memiliki validitas yang lebih rendah dibandingkan jika dilakukan triangulasi baik dari aspek metode, sumber data, alat ukur dan sebagainya.
  4. Menggunakan metodologi terkini namun dengan tetap menempatkan teori sebagai penentu metode. Metodologi riset terus berkembang dari waktu ke waktu dan sebaiknya peneliti ikut dan terus memantau metodologi terkini. Metodologi terkini sebaiknya diterapkan, namun metodologi tersebut harus tetap mengikuti atau sesuai dengan teori yang dipakai.
  5. Pelaporan hasil terstandar dengan parameter komprehensif. Penyajian hasil dengan nilai p-value sebagai rujukan saja tidak cukup. Peneliti sebaiknya memperhatikan parameter lain seperti gambaran nyata di lapangan, pengaruh besaran sampel, nilai power pasca analisis, dan interval keyakinan (confidence interval).
  6. Meningkatkan kemampuan analisis data, namun jangan sampai kemampuan analisis data menentukan tujuan penelitian dan teori. Seringkali peneliti sangat unggul di bidang analisis data misalnya SEM, analisis faktor dsb. Namun sayangnya keterampilan ini malah membuat tujuan penelitian menjadi kabur, karena peneliti fokus pada analisis data yang diinginkannya. Sehingga meskipun Anda sangat mahir dalam analisis SEM misalnya, belum tentu masalah penelitian yang Anda miliki diselesaikan dengan metode analisis tersebut.
  7. Mengintegrasikan dengan hasil penelitian di bidang ilmu lain. Sebuah pepatah mengatakan ilmu pengetahuan akan mati jika tidak bersilaturahmi dengan ilmu lainnya. Hasil penelitian pada bidang ilmu tertentu sebaiknya diintegrasikan dengan penelitian bidang lainnya sehingga akan memperkaya khazanah diskusi dan penerapannya.
  8. Mengedepankan nilai-nilai. Riset tidak akan memiliki manfaat banyak bagi kepentingan praktis dan akademis jika tidak menjunjung tinggi nilai-nilai yang dianut dalam penelitian. Misalnya: kejujuran dan obyektivitas data, tidak melakukan plagiarisme, menghormati hak partisipan dengan tidak melakukan pemaksaan dan lain-lain. Bahkan penelitian harus memberikan kemanfaatan pada responden yang terlibat.

Sumber: Rogelberg, S. G., & M. E. Brooks-Laber (2005). Securing our Collective Future: Challenges Facing Those Designing and Doing Research
in Industrial and Organizational Psychology, in Steven G. Rogelberg (ed), Handbook of Research Methods in Industrial and Organizational Psychology, Chapter 23, Blackwell Publishing.

Salah Paham dalam Penyusunan Visi-Misi Organisasi

Jurnal Kesehatan AdeHeryana Vol.1 No.10 2021

Masih tentang pemilihan ketua organisasi ikatan alumni. Salah seorang bakal calon ketua berjanji menyodorkan visi dan misinya, kemudian meminta saran untuk masukan dari anggota. Saya menanyakan apakah sudah dilakukan kajian awal untuk penyusunan visi misi ini? Ternyata belum. Lalu saya mencoba membantu konsep penyusunan kajian atau studi awal dalam bentuk Analisis Situasi (Situation Analysis). Layaknya pria yang ingin meminang calonnya, tentu harus melakukan penilaian (assessment) terhadap situasi di sekitar wanita pilihannya.

Saya sering membaca berbagai visi organisasi, dan setelah cukup lama memperdalam bidang manajemen strategis, berfikir sistem, perencanaan strategis maka umumnya kesalahan dalam penyusunan visi adalah sebagai berikut:

  1. Disusun terburu-buru bahkan tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) organisasi. Dalam konteks ikatan alumni, sekarang dunia teknologi informasi sudah berkembang sehingga ada baiknya dilakukan survey online kepada seluruh pemangku kepentingan (anggota, pengurus yang ada, pengguna lulusan, lulusan yang belum menjadi anggota dsb) tentang apa yang diinginkan atau diharapkan dari ikatan alumni ini. Hasil survey bisa dijadikan masukan dalam analisis situasi dan dalam penyusunan visi misi .
  2. Visi tidak mencerminkan kondisi 10 tahun ke depan. Akibat penyusunan visi misi yang terburu-buru dan tidak komprehensif baik dalam skala ruang dan waktu, umumnya visi yang dihasilkan tidak menggambarkan kondisi 10 tahun ke depan. Misalnya dalam 10 tahun ke depan, kompetensi apa yang diharapkan lulusan sebuah perguruan tinggi? Apakah pada 10 tahun ke depan lulusan hanya akan masuk di dunia industri saja? Bagaimana dengan bisnis start up? Hal ini dapat diperoleh jika ada rembug bersama dengan pemangku kepentingan. Penulis bahkan harus dua hari dua malam tidur larut malam hanya untuk merumuskan kalimat visi yang tepat.
  3. Menganggap visi sebagai kalimat formal saja, yang penting ada bahkan hanya menggugurkan tugas saja. Visi sangat menentukan keberhasilan organisasi. Visi ibarat lokomotif kereta yang akan diikuti oleh gerbong di belakangnya. Jalannya kereta akan tersendat jika tiap gerbong punya kepentingan berbeda-beda dan tidak sesuai visi. Bahkan lebih ekstrim akan ada penumpang yang menarik tuas rem di gerbong, jika merasa lokomotif (visi) tidak sesuai.
  4. Tidak secara detail merinci pengertian dari kata-kata dalam visi. Misalnya sebuah organisasi visinya adalah “mengayomi seluruh anggota untuk mencapai keberhasilan di dunia industri”. Perumus visi harus mendefinisikan dengan detail apa yang dimaksud “mengayomi” “keberhasilan” dan “dunia industri”. Kalau dalam dunia riset namanya definisi operasional. Tujuannya agar seluruh pemangku kepentingan tidak menafsirkan sendiri-sendiri makna dari kata-kata yang ada dalam visi.
  5. Menggunakan kalimat yang sifatnya operasional bukan strategikal. Kalimat yang operasional mengandung kegiatan yang sifatnya teknis dan taktis, misalnya: visi organisasi “menghasilkan 5000 lulusan yang berkompeten di bidangnya pada 5 tahun ke depan”. Penulisan angka 5000 serta 5 tahun ke depan menunjukkan sesuatu yang sifatnya teknis. Sebaiknya diganti dengan “menciptakan lulusan yang berkompten di bidangnya”.

Lalu bagaimana dengan misi? Pada dasarnya misi harus berkaitan dan mendukung tercapainya visi, sehingga jangan menyusun misi organisasi yang tidak selaran dengan visi. Beberapa kesalahpahaman dalam penyusunan misi adalah:

A. Tidak dihasilkan berdasarkan hasil analisis situasional yang ketat dan komprehensif. Umumnya yang terjadi adalah pendapat pribadi pengurus, tanpa melalui pengukuran sendiri (self-assessment). Ada juga yang disebabkan oleh penyusunannya yang terbalik yaitu visi dulu, baru misi. Padahal seharusnya misi menentukan visi, bukan sebaliknya. Pada artikel berikutnya akan saya uraikan tentang bagaimana melakukan analisis situasional untuk menghasilkan visi dan misi.

B. Tidak link dengan visi organisasi. Artinya adalah pernyataan kalimat dalam misi, luarannya atau outputnya mengarah ke visi. Namun perlu diingat (ini yang sering terjadi): penyusunan visi dilakukan setelah misi dibuat, jangan terbalik !. Artinya jika telah tersusun misalnya 4-5 misi, maka barulah bisa disusun visi sesuai dengan luaran dari misi tersebut.

C. Tidak mencerminkan upaya yang akan dicapai pada jangka panjang 5-10 tahun. Hal ini bisa terjadi karena tidak adanya strategi jangka panjang. Penyusunan analisis SWOT dapat membantu masalah tersebut. Lihat artikel penulis tentang penerapan analisis swot untuk menyusun visi misi.

Artikel terkait: http://www.adeheryana.com/index.php/2020/08/17/penggunaan-analisis-swot-untuk-menyusun-visi-misi-organisasi/

Egoisme di Pelayanan Kesehatan: Sebuah Keniscayaan?

Jurnal Kesehatan AdeHeryana Vol.1 No.9 2021

Diskursus mengenai egoisme hampir selalu berkonotasi negatif, tidak terkecuali di pelayanan kesehatan. “Ego sektoral” dianggap sebagai salah satu penyebab mandegnya pembangunan kesehatan. “Ego profesi” selalu berkaitan dengan dengan ketidaksinkronan dalam perawatan pasien.

Beda halnya dengan altruistik yang selalu beruntung karena manusia memberikan nilai yang lebih positif. Ceramah-ceramah motivator hampir selalu menempatkan altruistik sebagai sikap positif, dan nyaris tidak pernah menganjurkan orang untuk bersikap egois. Ketika pemain sepakbola menggiring bola ke arah lawan dan berusaha mengecoh pemain lawan, namun gagal di tengah jalan, sebagian penonton menganggapnya bermain egois. Namun ketika berhasil menciptakan gol, penonton menganggap skill pemain yang tinggi, bukan egois.

Apakah memang manusia selalu mengaitkan ego dengan hal-hal buruk? Bagaimana pandangan filosofis terhadap sikap egoisme? Apakah egoisme dapat dibutuhkan sebagai bahan “bahan bakar” manusia dalam menjalankan tugasnya? Apakah egoisme ikut berperan dalam keberhasilan pelayanan kesehatan? Artikel ini akan membahas pertanyaan-pertayaan tersebut.

Nilai dari Egoisme

Meski penulis belum pernah melakukan survey tentang nilai suatu keegoisan namun secara empirik dapat diyakini ketika menanyakan kepada seseorang “apakah Anda suka orang egois”, hampir pasti jawaban tidak proporsinya lebih tinggi. Konsep nilai atau value berkaitan dengan keyakinan-keyakinan (belief) seseorang terhadap suatu fenomena atau keadaan yang ada di lingkungannya. Jelaslah bahwa nilai bersifat subyektif. Nilai suatu egoisme dengan demikian merupakan dimensi yang sangat subyektif.

Pengalaman, pendidikan, pengetahuan, trauma masa lalu turut berperan terhadap penilaian manusia tentang egoisme. Pimpinan kelompok bisa membenci anak buahnya yang egois karena pernah gagal mencapai target akibat buruknya kerjasama tim. Namun pemimpin bisa mempertahankan anggota timnya yang terkesan ego, karena menganggap sebagai sikap yang mendorong kompetisi. Semakin tinggi pendidikan, tuntutan terhadap perilaku mementingkan orang lain juga semakin tinggi. Antrian di kantin sebuah universitas yang berjajar rapi misalnya menggambarkan betapa ego untuk mendahului orang lain sangat dihindarkan.

Lingkungan sosial yang terus berkembang ke arah kolaboratif menyebabkan egoisme mengalami degradasi nilai. Penyediaan kursi khusus bagi orang dengan keterbatasan fisik di angkutan umum sudah bukan hal aneh. Bahkan penumpang akan menegur penumpang lain yang tidak berbagi tempat duduk. Termasuk dalam hal ini adalah merokok di tempat umum. Kondisi ini di Indonesia jarang ditemui saat lebih dari 20 tahun lalu.

Filsafat Egoisme

Dalam pandangan filosofis, filsafat menjelaskan egoisme dalam sudut pandang yang lebih dalam dan luas. Penilaian subyektif masyarakat terhadap egoisme – yang melihat dari sisi benar/salah atau baik/buruk – berupaya memberikan penilaian dari sudut pandang positivistik. Penganut positivistik menilai satu kondisi secara lahiriah. Uraian pada sub bab nilai dari egoisme sedikit banyak menjelaskan pandangan positivistik.

Filsafat egoisme berupaya memandang egoisme dari sudut konstruktivis. Egoisme dianggap sebagai entitas yang sebaiknya harus dijalankan manusia agar tetap bertahan hidup di dunia ini. Dengan demikian dalam pandangan filsafat, egoisme dianggap sebagai tindakan yang “tepat” dan “tidak tepat”. Sebuah sudut pandang subyektif namun memberikan kebebasan memilih kepada manusia. Manusia boleh berperilaku egois asalkan terdapat syarat “jika dan hanya jika” yang melatarbelakangi tindakannya.

Dalam filsafat egoisme, Anda dan kita semua boleh bahkan dianjurkan untuk bertindak egois, jika terdapat situasi yang menuntunnya. Anda boleh mendahului atau memotong antrian di rumah sakit jika dan hanya jika dalam keadaan emerjensi. Masyarakat akan memaklumi Anda untuk tidak memberikan tempat duduk prioritas jika dan hanya jika dalam keadaan sakit parah sehingga tidak dapat berdiri.

Meskipun filsafat egois tidak melarang seseorang berperilaku mau mendang sendiri, namun ada sebuah pedoman yang harus dianut. Pedoman tersebut dinamakan etika. Selama tindakan egois sejalan dengan norma-norma dan etika yang berlaku, egoisme seseorang akan dimaafkan. Egoisme yang membutakan etika akan tersandung oleh restu masyarakat sekitar.

Egoisme sebagai Amunisi

Kemajuan dunia baik dari sisi ekonomi, sosial, politik dan sebagainya berakibat pada semakin terbatasnya sumberdaya. Manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan sumberdaya. Di benua Afrika yang beriklim panas dan kering, rakyat miskin berebut air bersih. Pasien JKN berlomba-lomba mendaftar paling awal bahkan dari subuh agar memperoleh pelayanan kesehatan sesuai jadwal.

Setiap minggu seorang teman yang melakukan studi di luar kota harus bersusah payah mendapatkan tiket dengan harga murah. Tindakannya bahkan berujung pada egoisme. Sebagian teman memaklumi, namun sebagian yang lain tidak menerima.

Jelaslah bahwa egoisme dibutuhkan sebagai bahan bakar bagi manusia, sebagai amunisi bagi setiap orang agar tetap survive. Sumberdaya atau material yang diinginkan manusia semakin waktu semakin berkurang. Budaya tepo seliro yang diterapkan di Jawa menyebabkan sebagian masyarakatnya tidak suka berkompetisi, dan menerapkan filosofi nerimo.

Egoisme dan Pelayanan Kesehatan

Bagaimana egoisme bisa muncul dalam pelayanan kesehatan? Sebelum menjawab pertanyaan ini kita ketahui bahwa egoisme dapat dilakukan oleh siapa saja yang berperan dalam pelayanan kesehatan. Pasien harus atau terpaksa berperilaku egois demi mendapatkan antrian dokter paling awal, mendapatkan ambulans, mendapatkan kamar rawat inap dan sebagainya. Egoisme di pelayanan kesehatan juga dilakukan oleh tenaga kesehatan atau antar profesi. Petugas kesehatan berusaha mendapatkan jadwal kerja yang menyenangkan (bukan shift malam), antara profesi kefarmasian dengan keperawatan bisa terjadi gesekan kepentingan dalam penyediaan obat. Egosime bahkah dijalankan oleh pihak di luar pelayanan kesehatan, seperti antara dinas kesehatan dengan dinas ketenagakerjaan dalam mengatur aspek kebijakan kepegawaian.

Dengan demikian egoisme muncul di pelayanan kesehatan karena faktor-faktor seperti ekonomi, sosial, kebudayaan, politis, dan faktor medis/kesehatan. Dari sisi ekonomis, seperti dijelaskan pada paragraf sebelumnya terkait dengan kelangkaan sumberdaya (scarce). Faktor sosial terkait dengan perilaku komunal masyarakat di pelayanan kesehatan. Pasien cenderung akan bertindak mengikuti perilaku kerumunan pasien lain. Jika ada sekelompok pasien memprotes (sebagai representasi egoisme) maka cenderung akan diikuti pasien lain. Budaya masyarakat juga berperan dalam perilaku egoisme masyarakat. Semakin maju dan beradab seharusnya masyarakat semakin menekan ego sentris. Demikian pula faktor politis. Masyarakat liberalis cenderung berkarakter lebih egois dalam melakukan pelayanan kesehatan dibanding masyarakat sosialis. Terakhir adalah faktor medis dan kesehatan itu sendiri. Kondisi penyakit pasien ikut menentukan tindakan egois seseorang.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku egois adalah tindakan yang tidak dapat dihindarkan dalam pelayanan kesehatan. Egois dapat berdampak positif jika dijalankan sesuai dengan etika dan norma yang berlaku di masyarakat.

Fundasionalis vs Empiris dalam Filsafat Ilmu

Jurnal Kesehatan AdeHeryana Vol.1 No.8 2021

Sampai sekarang selalu muncul perdebatan dalam memandang ilmu pengetahuan. Kemarin saat menguji sidang skripsi mahasiswa, terjadi perdebatan antara penguji satu dengan penguji lain. Penguji satu bersikukuh bahwa skripsi tersebut tidak layak lulus karena tidak mengikuti kaidah ilmu yang formal. Sementara penguji yang lain menganggap skripsi ini layak lulus karena secara empiris kondisinya sesuai dengan lapangan. Mengapa sampai saat ini perdebatan antara fundamental dengan empiris masih terjadi?

Penulis membaca buku berjudul Philosophy of Science: A Unified Approach yang ditulis oleh Gerhard Schurz, seorang guru besar filsafat kebangsaan Austria. Pada buku ini Schurz menjelaskan pengertian dan kelompok/aliran yang ada dalam filsagat ilmu.

Menurut Schurz (2014), istilah yang sering dipakai untuk menjelaskan filsafat ilmu antara lain theory of science atau wissenschaftstheorie (bahasa Jerman). Seperti halnya disiplin ilmu lain, Filsafat Ilmu memiliki tujuan yang akan dicapai. Disiplin ilmu ini berupaya menginvestigasi bagaimana sebuah ilmu pengetahuan “bekerja” berdasarkan tujuan dan metode, pencapaian, serta keterbatasan yang dimilikinya.

Filsafat Ilmu terbagi menjadi dua jenis yaitu a) filsafat cabang ilmu (philosophies of particular sciences); dan b) filsafat ilmu secara umum (general philoshopy of sciences). Filsafat cabang ilmu secara khusus mempelajari cabang khusus ilmu pengetahuan seperti filsafat fisika, biologi, psikologi, ilmu sosial atau humanity. Sementara filsafat ilmu (umum) berupaya mencari komponen-komponen ilmu pengetahuan.

Apa yang akan dijawab dalam cabang filsafat ilmu? Schurz menyatakan setidaknya ada enam pertanyaan yang akan dijawab: (1) Bagaimanakah “bahasa” dalam ilmu pengetahuan disusun?; (2) Apakah aturan yang dipakai untuk menjelaskan dan memberikan sanggahan dalam ilmu pengetahuan?; (3) Apakah perbedaan observasi dan data antar ilmu pengetahuan? (4) Apakah hokum yang mendasar ilmu pengetahuan, dan terdiri dari teori apa saja?; (5) Bagaimana pengujian hipotesis dan teorinya? Kapan uji hipotesis tersebut ditolak? Apakah kriteria yang dipakai untuk kelanjutan ilmu pengetahuan?; dan (6) Apakah pencapaian yang dihasilkan melalui penjelasan ilmiah, dan apakah penyebabnya?.

Bagaimanakah pemanfaatan Filsafat Ilmu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut? Pada dasarnya terdapat dua jenis aplikasi Filsafat Ilmu yaitu aplikasi internal dan aplikasi eksternal (Schurz, 2014).

  1. Aplikasi internal atau di dalam ilmu pengetahuan itu sendiri, meliputi: 1) penyediaan pondasi dasar ilmu pengetahuan yang membantu peneliti untuk menentukan pertanyaan penelitian baik yang sifatnya baru atau kontroversial; 2) menentukan lintas disiplin keilmuan; dan 3) menghasilkan kemampuan berargumentasi dalam melakukan telaah kritis.   
  2. Aplikasi eksternal atau di luar ilmu pengetahuan, antara lain: mengatasi masalah pengkotak-kotakan atau demarkasi ilmu pengetahuan di masyarakat, menghindari penyalahgunaan ilmu pengetahuan secara politik dan komersial.

Filsafat Ilmu secara formal pertama kali dicetuskan pada abad 20, namun sebenarnya sudah ada sejak ilmu pengetahuan berkembang. Pada artikel ini akan diurutkan secara kronologis berdasarkan pemikiran-pemikiran yang dihasilkan tokoh-tokoh filsafat.

  1. Pemikiran filsafat pertama kali disampaukan oleh “kelompok fundasionalis” yang menyatakan “pada dasarnya pengetahuan hanya mungkin terjadi jika berdiri di atas dasar-dasar prinsip kepastian dan kebutuhan. Prinsip ini muncul melalui pemikiran intuisi rasional, bukan melalui pengalaman-pengalaman yang sifatnya tidak pasti”. Tokoh yang pertama kali mencetuskan pemikiran ini adalah Aristotles (384-322 SM), yang menyebut pemikiran ini dengan induksi intusi.  Kelompok fundasionalis kemudian berkembang menjadi kelompok “rasionalis” yang dimotori oleh tokoh-tokoh seperti Rene Descartes (1596-1650), Gottfried W. Leibniz (1646-1716), dan Immanuel Kant (1724-1804). Menurut kelompok rasionalis, sesuatu hal memiliki kebenaran jika memiliki unsur-unsur empirik. Pemikiran ini ternyata tidak dapat dipertahankan bersamaan dengan munculnya ilmu pengetahuan modern.
  2. Pemikiran kelompok fundasionalis lama-lama digantikan oleh kelompok metodologi empirik atau disebut “kelompok empirik” pada akhir abad pertengahan oleh tokoh-tokoh seperti Roger Bacon (1214-1292), dan William von Ockham (1295-1349). Pada masa itu dikenal prinsip Ockham yang menyatakan “ketika seorang peneliti/ilmuwan membatalkan seluruh asumsi-asumsi teoritis, maka ia tidak perlu menjelaskan hal-hal yang nampak”. Pada awal abad modern, pemikiran kelompok empirik semakin diakui dalam dunia filsafat bersamaan dengan lahirnya metode ilmiah di periode tersebut, oleh tokoh-tokoh seperti Francis Bacon (1561-1626), John Locke (1632-1704), David Hume (1711-1776) dan John Stuart Mill (1806-1873). Menurut kelompok empirik, sesuatu dikatakan benar jika didasarkan pada pemikiran logis dan konseptual. Namun demikian, pada akhirnya pemikiran kelompok fundamentalis juga mengalami pergeseran ke arah fundasionalis. Mengapa demikian? Pada masa itu muncul dua prinsip dalam metode ilmiah yaitu prinsip sebab-akibat[1] (causality principles) dan prinsip induksi[2] (induction principles). Menurut Hume, kedua prinsip ini tidak dapat dijelaskan secara logis dan empiris.    

Pada abad dua puluh muncullah kelompok baru yang disebut dengan post-empirik dan post-rasionalis. Hingga sekarang, berdasarkan kelemahan-kelamahan yang dimiliki dan diakui oleh kedua kelompok, pemikiran empiris dan rasional saling melengkapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Sumber: Schurz, G. (2014). Philosopy of science: A Unified Approach. Taylor & Francis


[1] Prinsip sebab-akibat menyatakan segala sesuatu di dunia ini terjadi karena interaksi antara sebab dan akibat. Akibat timbul karena ada penyebab, sebab menghasilkan akibat.

[2] Prinsip induksi menyatakan bahwa permasalahan umum di dunia ini dapat dijelaskan berdasarkan kejadian khusus (dari khusus ke umum)

“Memasarkan” Proposal Skripsi?

Jurnal Kesehatan AdeHeryana Vol.1 No.7 2021

Mempresentasikan proposal skripsi di depan para penguji ibarat seseorang yang sedang melamar pekerjaan. Inti dari proposal skripsi adalah kalian menawarkan suatu kegiatan dan berusaha agar kegiatan tersebut menarik perhatian penguji bahkan meluluskan proposal tersebut.

Kalau begitu samakah dengan menjual produk/jasa? Bisa dibilang hampir mirip. Anggaplah dosen pembimbing (dosbing) adalah konsumen yang akan kalian sasar, lalu dosen penguji adalah orang di sekitar konsumen yang mempengaruhi atau memantapkan pilihannya untuk menyetujui proposal kalian. Jadi keputusan final dosbing untuk menyetujui proposal kalian bukan saat bimbingan di meja, tetapi saat presentasi. Jika dosen membela kalian di saat presentasi, itu menunjukkan kalian berhasil “memasarkan” proposal skripsi.

Dalam ilmu pemasaran, keputusan konsumen untuk membeli barang melalui tahapan berikut: tahap-1 adanya kebutuhan konsumen akan suatu produk/jasa untuk memenuhi kepuasannya (need); tahap-2, adanya keinginan konsumen untuk memenuhi salah satu kepuasan (want); dan tahap-3 adanya permintaan dari konsumen akan produk/jasa yang didukung dengan keinginan dan kemampuannya untuk membeli (demand). Proses kalian mengajukan proposal skripsi kepada dosbing tahapannya bisa seperti di atas.

Tahap-1 need. Pada dasarnya dosbing membutuhkan (need) pengembangan karir dalam bidang penelitian. Penelitian yang dilakukan mahasiswa (melalui skripsi) bisa menjadi salah satu pendukung kebutuhan ini. Nah, kalo gini apa strateginya? Mahasiswa harus paham kepakaran dosen pembimbingnya. Caranya? gampang aja. Buka Google Scholar, lalu ketik nama dosbing kalian. Perhatikan judul penelitian yang sudah dilakukan dosbing, dan kalian bisa menyimpulkan topik apa yang cocok dan diminati. Apakah cuma google scholar? tidak juga. Kalian bisa cari kinerja dosen di blog pribadinya, atau website Sinta. Dari sini satu poin sudah kita dapat. Lalu apakah tanda-tanda kalian sudah dapat menyentuh need dosbing? Ketika dosbing menyetujui topik yang diambil, kalian telah bisa menyentuh kebutuhannya. Perlu diingat, topik beda dengan judul skripsi. Judul lebih spesifik dibanding topik. Misalnya: topiknya pembiayaan kesehatan, judulnya bisa “dampak asuransi kesehatan terhadap kesehatan lanjut usia”.

Tahap-2 want. Pada tahap ini dosbing ingin (want) agar topik yang sudah kalian pilih dan disetujui olehnya menjadi proposal penelitian yang lebih baik. Saran saya pada tahap ini jangan kasih kendor. Terus lakukan pendekatan dan secara intens melakukan konsultasi. Ingat, dosbing bukan cuma membimbing 1 mahasiswa tetapi bisa 5-10. Jangan sampai ada mahasiswa lain yang menyodorkan topik yang mirip dan lebih menarik. Dan ingat, di sini kalian ibarat pemasar/penjual yang berupaya menarik perhatian dosbing. Disamping itu perdalam kembali keilmuan yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi, baik dari sisi metodologi penelitian maupun substansi topik penelitian.

Tahap-3 demand. Nah pada tahap ini cukup menentukan keberhasilan kalian dalam penyusunan skripsi. Jika tahap 1 & 2 sudah kalian lewati dengan sangat baik, maka kalian akan mendapatkan peluang emas yaitu dosbing menyatakan ingin terlibat dalam proposal penelitian yang kalian buat. Kalau sudah begini, dosbing akan mendukung proposal kalian 100%, sehingga saat sidang dia akan mati-matian membela agar proposal skripsi supaya lolos.

Tidak ada yang sulit jika kita berusaha. Sebenarnya siapa yang mengatakan ke otak kita bahwa menyusun skripsi itu sulit, sehingga tangan kita malas membuka laptop? Teman? Kakak angkatan? Bukan mereka!!! Tetapi sebenarnya diri kalian sendiri yang “menempatkan” skripsi sebagai benda yang mengerikan. Makanya muncul istilah “Skripshit” (buat yang merasa sulit), dan “skripsweet” (buat yang merasa gampang).

Mengerjakan skripsi melatih kita untuk melewati sebuah proses secara bertahap, satu per satu, dan tidak instan. Dan mental seperti itulah yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Semoga lancar skripsinya.

Kapan saya diterima kerja?: Sebuah tutorial #1 Bikin surat lamaran

Jurnal Karir AdeHeryana Vol.1 No.3 2021

Sudah ngelamar kemana-mana nggak nyangkut juga? Sebenernya lari kemana surat lamaran itu? Surat lamarannya ada, tapi nasibnya atau rejekinya belum ada. Yang menyedihkan, saya sering skip surat lamaran calon karyawan hanya karena “kesan pertama” yang tidak menggoda.

Well, surat lamaran (baik email atau cetak) adalah kesan pertama. Jadi jangan anggap enteng ya. Termasuk juga lampirannya seperti CV, dokumen pendukung lain. Mengenai CV dan dokumen pendukung akan dijelaskan pada artikel lain. Sekarang kita fokus ke surat lamaran.

Waktu masih sama2 email & ngepos surat lamaran kemana2, saya sering diminta teman seperjuangan bikinin surat lamaran. Ada yang gagal juga, tapi kebanyakan diterima. Alhamdulillah. Oke saya bagi tips gimana caranya membuat surat lamaran yang (semoga aja) menarik minat perusahaan.

Tips#1 – cari informasi ttg perusahaan dan tentunya posisi yang mau dilamar. Kenapa harus cari data segala? Jenis perusahaan menentukan gaya penulisan surat. Pada perusahaan swasta misalnya gaya penulisan umumnya tidak terlalu kaku yang penting efektif dan to the point. Mungkin agak beda dengan perusahaan BUMN atau isntansi pemerintah. Pemilihan kata-kata jangan sampai salah. Kalau perusahaan asing, baiknya pakai bahasa inggris meskipun tidak ada perintah menulis dalam bahasa inggris. Kalau saya patokannya dari iklan yang ditayangkan. Iklan dalam bahasa inggris saya tulis lamaran dalam bahasa inggris.

Tips#2 – email apa pos? Hari gini masih ada yang minta dipos? Umumnya sudah email, kecuali lamarannya dibawa teman dalam bentuk print. Kalaupun ada dalam bentuk cetak, sangat jarang. Bahkan skrg perusahaan yang bonafid sudah menyediakan dropping CV di website.

Tips#3 – surat lamaran dilampirkan atau dalam badan email? Saya menyarankan pada badan email tetap dibuat resume/ringkasan surat lamaran yang isinya versi ringkas dari surat lamaran yang dilampirkan. Justru badan email bisa dijadikan “iklan pembuka” tentang siapa diri kita.

Tips#4 – perhatikan etika dalam mengirim email. Jangan lupa mencantumkan tanggal, jabatan orang yang dituju (kalau tidak tau nama orangnya), subyek email (jangan sampai kosong! kalau kosong menunjukkan Anda tidak professional), salam pembuka (dengan hormat, assalaamualaikum wr wb, dsb), salam penutup (hormat saya, best regards, warm regards, dsb). Ingat ini: jangan menulis isi email pada subyek, jangan mengosongkan subyek email, jangan melampirkan file ukuran besar (maks 3-5MB), jangan mengirim email dalam bentuk reply/forward dari email orang lain.

Tips#5 – bolehkah surat lamaran ada huruf warna warni? Standarnya adalah hitam, namun selama tidak terlalu banyak dan dominan warna lain bisa ditampilkan. Maksimal jumlah warna yang ditoleransi adalah 3 jenis. Lebih dari itu terkesan norak. Jangan menulis isi berita dengan huruf berwarna. Lalu apa yang boleh berwarna? header/footer dan hal/perihal dalam surat. Pilih warna yang agak gelap seperti biru tua, hijau tua, ungu tua. Jangan warna yang terlalu soft, apalagi merah!

Tips#6 – bolehkah surat lamaran dikasih header/footer dan halaman? Boleh saja, tapi ada ketentuannya: font size kecil (9-10), relevan dengan isi surat lamaran misalnya halaman, nama Anda lengkap dengan gelar, motto.

Tips#7 – penulisannya rata kiri atau pakai indentasi (agak masuk tiap paragraf)?. Tidak ada ketentuan baku. American style biasanya rata kiri (tidak ada bagian menjorok ke dalam pada awal paragraf). Ingat: jangan menulis surat lamaran menggunakan style center !

Tips#8 – haruskah ada nama pejabat yang dituju? Kalau memang tidak diperoleh data nama pejabat HRD atau pimpinan yang dituju, sebaiknya hanya dicantumkan nama jabatan. Tapi ingat: survey dulu dengan tepat nama jabatannya, jangan sampai salah tulis. Beberapa pejabat sangat sensitif dengan kesalahan penulisan nama jabatan. Kalau namanya sudah diketahui, bisa dituliskan tetapi jangan sampai salah tulis nama. Bisa bahaya.

Tips#9 – pilih salam pembuka yang tepat. Salam pembuka yang standar dalam dunia perkantoran adalah “dengan hormat”. Saran saya selalu gunakan kata pembuka seperti ini. Salam lain misalnya “Assalaamualaikum wr wb” “selamat pagi” biasanya di Indonesia masih sedikit dipermasalahkan.

Tips#10 – perhatikan sistematika penulisan. Tulisan yang sistematik akan memudahkan pembaca dalam menangkap maksud surat. Saya biasanya menggunakan sistematika diawali dengan: salam pembuka, lalu perkenalan diri sendiri, tujuan surat, gambaran singkat kualifikasi Anda (yang relevan saja, disesuaikan dengan iklan loker), harapan-harapan jika diterima, ucapan terima kasih.

Tips#11 – jangan lupa tanda tangan. Anda tidak mengirim surat kaleng (surat yang tidak jelas identitasnya), tapi surat melamar pekerjaan. Di badan email sebaiknya cantumkan nama, atau aktifkan fasilitas digital sign dari penyedia email. Di sura lamaran yang dilampirkan waji ada tanda tangan.

Well itu saja tipsnya. Kalau mau tanya-tanya lebih lanjut bisa email ke [email protected] atau kirim komentar di bawah artikel ini. Selamat mencoba !